Advertisement
Deru
suara sepeda motor lambat laun mulai menghilang. Kemudian lenyap ditelan suara
gemuruh Curug Cikondang dari arah lembah pegunungan. Terlihat dari atas
bukit sebuah air terjun mengeluarkan buih putih terbawa angin.
Tampak raut wajah ceria dari teman-teman peserta touring. Bahkan ada yang
spontan berteriak gembira seolah lupa akan lelah yang mendera sepanjang
perjalanan.
Berawal ketika saya ikut
menemani teman-teman touring ke Gunung Padang di
Cianjur, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Buat saya sendiri, itu kunjungan ke untuk kali kedua ke situs
megalitikum itu.
Mengawali pemberangkatan
dari meeting point di sebuah pom bensin Warung Jambu, Bogor.
Yang semula dijadwalkan sudah berkumpul pukul 07.00 WIB pagi, ternyata
teman-teman datang terlambat. Maklum macet, jelang libur
akhir pekan. Tanpa terkecuali di Ciawi dan Gadog menuju arah Puncak,
lebih macet lagi.
walaupun harus
menembus kemacetan di kawasan Puncak. Akhirnya sekitar rombongan kami tiba di Gunung
Padang sekitar pukul 10.00 WIB siang. Ketika itu suasana pengunjung di lokasi situs purbakala sudah ramai.
Tanpa membuang waktu,
setelah membeli tiket teman-teman langsung naik ke atas bukit itu. Mereka
begitu antusias ingin melihat dari dekat keberadaan situs megalitikum
yang banyak menyedot perhatian orang.
Kurang lebih dua jam kami berada di puncak bukit Gunung Padang, berkeliling mengamati setiap sudut tumpukan batu itu. Sambil menikmati hawa gunung dan pemandangan pegunungan.
Kurang lebih dua jam kami berada di puncak bukit Gunung Padang, berkeliling mengamati setiap sudut tumpukan batu itu. Sambil menikmati hawa gunung dan pemandangan pegunungan.
Setelah merasa cukup
berada di situs tersebut, kemudian perjalanan dilanjutkan mengunjungi air
terjun Curug Cikondang. Menurut salah satu petugas, dari situs Gunung Padang ke
curug tersebut jaraknya sekitar 7 km.
Secara geografis Curug
Cikondang berlokasi di Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten
Cianjur. Jarak dari kota Cianjur sekitar 37 km atau waktu tempuh sekitar
1,5 jam.
Untuk menuju ke lokasi air terjun bisa lewat jalur Cianjur-Sukabumi kemudian belok kiri ke jalan Cilaku berlanjut ke Cibeber. Dan bisa juga melalui jalur Warung Kondang, Bebedahan, Lampegan ikuti arah ke situs Gunung Padang. Setelah di pertigaan Lampegan belok kiri.
Untuk menuju ke lokasi air terjun bisa lewat jalur Cianjur-Sukabumi kemudian belok kiri ke jalan Cilaku berlanjut ke Cibeber. Dan bisa juga melalui jalur Warung Kondang, Bebedahan, Lampegan ikuti arah ke situs Gunung Padang. Setelah di pertigaan Lampegan belok kiri.
Sekitar pukul 13.00 WIB
rombongan kami berangkat menuju Curug Cikondang. Meninggalkan situs Gunung
Padang yang terus didatangi para pengunjung. Di sepanjang perjalanan menuju curug pemandangan disuguhi hamparan hijau perkebunan teh.
Jelang pertigaan jalan
di Lampegan kami sedikit ragu arah jalan yang benar menuju Curug Cikondang.
Karena di pertigaan itu tidak ada petunjuk arah jalan. Tidak mau ambil risiko
kesasar kami mencoba mencari informasi ke warga kampung setempat.
Padahal alangkah baiknya apabila dari pemerintah Desa Sukadana selaku pengelola Curug Cikondang berinisiatif membuat petunjuk arah. Walaupun dibuat sederhana akan sangat membantu kepada para pengunjung yang akan berwisata ke air terjun tersebut.
Padahal alangkah baiknya apabila dari pemerintah Desa Sukadana selaku pengelola Curug Cikondang berinisiatif membuat petunjuk arah. Walaupun dibuat sederhana akan sangat membantu kepada para pengunjung yang akan berwisata ke air terjun tersebut.
Setelah menempuh hampir
4 km perjalanan. Kami harus berjuang keras menaklukan jalanan yang tidak
bersahabat. Sebab kira-kira 3 km jalanan berkelok, menurun, dan berbatu rusak
parah. Kondisi permukaan jalan bergelombang dengan batu-batu hampir sebesar dua
kali kepalan orang dewasa. Di jalanan ini para pengendara
dituntut untuk ekstra hati-hati dan harus pintar-pintar memilih jalan agar
tidak terpeleset.
Bagi yang membawa
kendaraan disarankan tidak memakai kendaraan roda ban pendek seperti jenis sedan. Sebab apabila roda pendek, risikonya
permukaan gardan akan mentok ke batu jalanan. Begitu pun dengan sepeda motor sebaiknya tidak memakai roda ceper. Kalau tidak ingin menemui keculitan di perjalanan.
Sayang sekali kalau kondisi jalan yang rusak dibiarkan saja, tidak ada perbaikan sama sekali. Tentu para pengunjung yang
akan menikmati wisata ke curug akan berpikir dua kali untuk datang ke tempat itu.
Mungkin bisa kapok.
Tentu hal ini suatu kerugian bagi pendapatan daerah setempat. Sebaliknya apabila kondisi jalan bagus, paling tidak layak dilalui kendaraan. Mungkin akan banyak lagi para traveling datang. Dan sudah barang tentu lambat laun akan membangkitkan ekonomi di pedesaan itu sendiri.
Tentu hal ini suatu kerugian bagi pendapatan daerah setempat. Sebaliknya apabila kondisi jalan bagus, paling tidak layak dilalui kendaraan. Mungkin akan banyak lagi para traveling datang. Dan sudah barang tentu lambat laun akan membangkitkan ekonomi di pedesaan itu sendiri.
Selepas jalan yang
rusak. Teman-teman para biker akhirnya bisa bernapas lega karena
telah lolos dari rintangan jalanan yang tidak bersahabat itu. Tidak beberapa
lama sauh terdengar suara gemuruh air terbawa angin pegunungan
dari balik bukit. Lambat-laun suara itu semakin keras terdengar bersaing dengan
deru suara motor.
Tidak disangka terlihat
dari atas jalan. Di balik bukit itu ternyata tersembunyi sebuah curug. Air terjun yang
mengalir dari kali kecil memberikan pemandangan menarik, diperkiraan tingginya sekitar 20 meter. Tak berlebihan apabila ada
sebagian orang menyebut Curug Cikondang sebagai miniatur Niagara di Jawa Barat,
mungkin karena mirip.
Di sekitar lokasi
tersedia juga areal parkir yang sudah dibuat secara swadaya oleh warga Desa
Sukadana. Dan pengelolaan air terjun itu pun dilakukan oleh pihak desa
setempat. Sedangkan untuk tarif masuk ke lokasi sebesar Rp5.000,- per orang.
Tiba di lokasi, kami
memilih istirahat dulu mencari ganjalan perut di sebuah warung di dekat areal
parkir. Maklum untuk sampai ke Curug Cikondang banyak menguras tenaga dan
merasakan panasnya sengatan matahari. Walaupun demikian kami bersyukur hawa
pegunungan telah memberikan kesegaran.
Setelah cukup istirahat kami
langsung ke lokasi air terjun tersebut. Ternyata untuk menuju lokasi air terjun
harus trekking kira-kira 1 km. Menyusuri jalan setapak di pinggir
perkebunan dan persawahan terasering. Curug
itu sendiri masuk dalam kawasan perkebunan teh PTP VIII Panyairan.
Sayang, ketika itu debit
air sedikit, karena musim kemarau. Seandainya debit air itu besar dipastikan curug
itu semakin indah. Tetapi kalau dilihat dari dekat pemandangan air terjun itu
ternyata cukup menarik.
Udara di sekitar air
terjun itu terasa sejuk. Tak heran para pengunjung betah berlama-lama di tempat
itu. Sambil berfoto ria mengabadikan setiap sudut di batu-batu besar. Termasuk
teman-teman, tidak mau ketinggalan sibuk mencari spot-spot yang dianggap cocok
untuk berfoto.
Tetapi ingat! Bagi Anda
yang akan mengambil gambar di atas batu harus hati-hati ketika melangkah.
Karena ada sebagian permukaan batu yang licin. Jika kaki sampai terpeleset ke
bawah akibatnya akan patal. Apalagi tepat di bawah air jatuh terdapat jurang
berbatu membentuk kolam dengan pusaran air yang dalam. Memang, di atas batu
besar itu menjadi tempat favorit untuk berfoto.
Di air terjun
itu kami tidak berani untuk mandi. Sebab menurut informasi aliran air itu mengandung mercury,
simbol HG (hydragyrum). Sebuah zat kimia berbahaya
bekas limbah pengelolalaan emas tradisional yang berada di hulu. Kalau hal
ini benar, sangat disesalkan sekali. Seharusnya ini tidak terjadi sebab akan
merusak lingkungan di sepanjang aliran kali. Karena zat adiktif itu susah
musnah, butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa hilang.
Hanya sekadar sumbang
saran. Lokasi air terjun ini sepertinya masih kurang dikelola dengan
sungguh-sungguh. Tampak di sekitar air terjun terkesan kotor, banyak
sampah. Kami pun tidak melihat adanya fasilitas pendukung, seperti MCK atau
mushola. Rasanya curug ini butuh penataan lebih serius, dan butuh sentuhan kreatif
dalam mengelolanya untuk semakin menarik banyak pengunjung. Padahal menurut
hemat saya, potensi untuk lebih baik masih ada.
Sekitar pukul 15.00 WIB
akhinya kami pulang meninggalkan Curug Cikondang. Melalui jalur menuju
arah Campaka. Berdasarkan saran dari salah seorang penduduk setempat,
kondisi jalan arah Campaka agak bagus dibandingkan jalan sebelumnya.
Yang lebih menarik lagi,
ternyata di jalur ini pemandangannya tak kalah bagus dari sebelumnya.
Kesempatan ini tak disia-siakan oleh teman-teman untuk kembali berfoto.
Apalagi ketika itu pesona sinar surya sore itu semakin mempercantik view perbukitan
perkebunan teh itu.
Setelah tiba di Puncak Bogor kami istirahat sebentar menikmati jagung bakar dan seduhan kopi panas,
sambil dihibur oleh seniman jalanan. Rasanya kurang pas di tempat udara yang
dingin tidak ngopi. Setelahistirahat cukup, kami kembali melanjutkan
perjalanan pulang.
Seluruh peserta touring telah membawa
kesan, cerita beragam tentang situs Gunung Padang dan juga curug Cikondang di
Cianjur. Dan bersyukur rombongan kami pun tiba di rumah masing-masing
dengan selamat.
0 komentar:
Post a Comment