Advertisement
Jantung saya seperti mau copot. Ketika speedboat berkecepatan
tinggi yang saya tumpangi tiba-tiba berputar membentuk setengah lingkaran,
dengan posisi miring seperti mau terbalik. Adegan yang memacu adrenalin
tersebut terjadi ketika kami mencoba naik speedboat di Telaga Sarangan.
Berkunjung
ke Telaga Sarangan ini memang mendadak setelah mengikuti sebuah acara di
Madiun. Sebenarnya banyak obyek wisata lain di kota tersebut. Tetapi kami
memilih mengunjungi Telaga Sarangan. Selain cukup dikenal dan waktu
tempuh tidak begitu jauh dari Madiun. Sebab pada malam itu juga kami harus
kembali ke Jakarta.
Sebelum
ke Telaga Sarangan, saya bersama teman-teman menyempatkan berkeliling
kota Madiun. Kota yang terkenal dengan peristiwa sejarah G 30 S
PKI itu suananya tenang dan bersih, tidak ada kemacetan kendaraan.
Tidak ketinggalan kami pun sempat menikmati makanan
tradisional, pecel Madiun. Ada yang kurang jika ke Madiun tidak mencoba pecel.
Dari warung pecel dilanjutkan ke tempat pembuatan roti, katanya roti
itu punya rasa yang khas. Sehingga mengundang rasa penasaran untuk mencoba
rasa roti itu.
Walapun sudah makan pecel. Kuatnya kabar tentang rasa khas dari
roti tersebut semakin mengundang rasa lapar perut kami. Puas
menikmati roti hangat dan melihat-lihat proses pembuatanya. Kami
meluncur menuju obyek wisata Telaga Sarangan yang berada di
Kabupaten Magetan, Jawa Timur.
Kurang lebih satu jam perjalanan, di daerah Maospati kami mampir
ke sebuah warung makan. Nasi pulen dengan menu gurame goreng, ayam bakar,
jus jeruk hangat, plus lalaban serta sambal terasi menjadi pilihan
siang itu. Menikmati makanan dengan suasana alam pedesaan, dan pemandangan
latar belakang Gunung Lawu turut membangkitkan selera makan.
Sesudah cukup istirahat kami kembali melanjutkan perjalanan.
Beruntung cuaca ketika itu sangat cerah. Memasuki kawasan kaki Gunung Lawu
jalanan mulai berkelok. Di kiri-kanan jalan tampak hijau hamparan beragam
tanaman sayuran dan palawija tumbuh subur. Mirip di daerah Dieng Banjarnegara atau di
kawasan Cipanas--Cianjur, Jawa Barat.
Sebelah barat tampak pesona Gunung Lawu, berada di ketinggian 3.265 (mdpl) seolah semakin mendekat. Rasanya ingin sekali menggapai
puncaknya yang berselimut awan itu. Seperti menyembunyikan banyak cerita dan
misteri.
Selain itu di Gunung Lawu ada kawah Condrodimuko yang cukup terkenal. Dan ada juga tempat-tempat kramat seperti : Sendang Drajat, Hargo Dalem, Hargo Dumilah, Batu Tugu Punden Berundak, Telaga Kuning dan Lumbung Sayur dan lain-lain. Biasanya Gunung Lawu banyak dikunjungi pada Tahun Baru Islam atau dikenal dengan bulan Suro.
Kira-kira dua jam perjalanan kami tiba di Telaga Sarangan. Suasana
sangat ramai sehingga kami agak kesulitan mencari tempat parkir.
Maklum, sebelum masuk ke obyek wisata terdapat pasar tradisional,
dan banyak keluar masuk kendaraan.
Rasa penasaran itu akhirnya terobati ketika melihat keindahan
Telaga Sarangan. Riak air memantulkan cahaya dari sinar matahari sore hari
menambah keindahan telaga. Airnya yang bening rasanya ingin sekali mandi
menyeburkan diri.
Di tengah telaga tampak ada pulau kecil (nusa) diselimuti rimbun pepohonan, terlihat masih asri. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, konon di nusa tersebut sampai sekarang diyakini bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan.
Di tengah telaga tampak ada pulau kecil (nusa) diselimuti rimbun pepohonan, terlihat masih asri. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat setempat, konon di nusa tersebut sampai sekarang diyakini bersemayam roh leluhur pencipta Telaga Sarangan.
Di sekitar obyek wisata itu juga terdapat hotel berkelas bintang dua dan kelas melati. Sepanjang jalan yang mengintari telaga berjejer warung-warung makan, dan toko cenderamata.
Untuk tiket masuk ke obyek wisata Telaga Sarangan, dewasa dikenakan Rp7.500,- anak-anak Rp5000,-, kendaraan roda empat Rp5000,-. Pengunjung juga bisa menikmati suasana Telaga Sarangan dengan delman atau keliling naik kuda dengan tarif Rp40,000,-. Harga ini tentatif, sewaktu-waktu mungkin bisa berubah.
Pengunjung juga bisa mencoba naik speedboat dengan tarif Rp40.000,-
satu kali putaran. Sambil berkeliling melihat keindahan seputar telaga. Sebagai 'bonus', pengemudi speedboat akan melakukan atraksi. Yaitu,
dengan kecepatan tinggi speedboat akan dimiringkan sambil berputar seolah akan
terbalik. Woh, adegan yang memacu adrenalin itu cukup
menghibur, tapi jantung akan dibuat berdebar-debar.
Bagi yang suka mancing boleh mencoba mancing di telaga itu.
Ketika itu banyak juga yang memancing. Bahkan saya sempat melihat
ada pemancing yang berhasil mendapatkan jenis ikan mujaer cukup
besar.
Yang suka kuliner jangan khawatir. Di sekitar telaga banyak
pilihan makanan di saung-saung pinggir telaga. Ada hidangan khas Telaga
Sarangan, yaitu menu sate kelinci yang banyak dijajakan di sekitar telaga.
Mitos Kearifan lokal
Secara geografis Telaga Sarangan berada di wilayah Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Kira-kira 16 km dari arah barat kota Magetan, terletak di kaki Gunung Lawu. Telaga alami ini dikenal telaga pasir, luasnya sekitar 30 hektar dengan kedalaman 28 meter. Dengan suhu udara berkisar 18 hingga 25 celsius.
Mitos Kearifan lokal
Secara geografis Telaga Sarangan berada di wilayah Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Kira-kira 16 km dari arah barat kota Magetan, terletak di kaki Gunung Lawu. Telaga alami ini dikenal telaga pasir, luasnya sekitar 30 hektar dengan kedalaman 28 meter. Dengan suhu udara berkisar 18 hingga 25 celsius.
Menurut mitos yang beredar di sebagian masyarakat. Telaga Sarangan
terbentuk disebabkan sepasang suami istri bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir yang
hidup bertahun-tahun tidak mendapatkan keturunan. Maka mereka bersemedi meminta
kepada Sang Hyang Widhi. Dan akhirnya mereka diberi keturunan seorang anak
laki-laki yang diberi nama Joko Lelung.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mereka bercocok tanam dan
berburu. Akan tetapi pekerjaan sehari-seharinya itu dirasakan cukup berat.
Lantas pasangan itu meminta kepada Sang Hyang Widhi untuk diberikan kesehatan
dan panjang umur.
Dalam semedinya pasangan suami istri itu mendapat wasiat agar
menemukan sebuah telur di dekat ladang mereka. Pasangan ini pun berhasil
menemukan telur tersebut. Lantas dibawa pulang untuk dimasak, kemudian telur
dibagi dua dan dimakannya.
Setelah pergi ke ladang lagi badan mereka menjadi panas dan
gatal-gatal. Kyai Pasir dan Nyai Pasir menggaruk-garuk badannya sampai
menimbulkan luka dan lecet-lecet. Lama kelamaan pasangan ini berubah menjadi
seekor ular naga besar. Dan berguling-guling di pasir sehingga membuat cekungan
sampai mengeluarkan air deras. Akhirnya cekungan itu digenangi air.
Merasa memiliki kemampuan, pasangan itu berniat menenggelamkan Gunung Lawu. Tetapi niat buruknya itu dapat dicegah oleh anaknya Joko Lelung, setelah meminta pertolongan kepada Sang Hyang Widhi.
Merasa memiliki kemampuan, pasangan itu berniat menenggelamkan Gunung Lawu. Tetapi niat buruknya itu dapat dicegah oleh anaknya Joko Lelung, setelah meminta pertolongan kepada Sang Hyang Widhi.
Sampai sekarang mitos tersebut masih dipercaya oleh sebagian masyarakat setempat. Biarlah mitos itu beredar sebagai bumbu untuk menarik wisatawan. Yang jelas, kesan kali pertama saya berkunjung ke Telaga Sarangan beberapa waktu lalu sangat menyenangkan. Walapun tidak cukup waktu untuk berlama-lama mengunjungi obyek wisata tersebut. Tetapi sudah dapat mengobati kerinduan tentang keindahan Telaga Sarangan.
Dan sekitar pukul 5.00 WIB sore kami pulang menuju stadiun Madiun.
Karena ada salah satu teman harus kembali ke Jakarta lebih
cepat. Sedangkan yang lain pulang malamnya, termasuk saya
sendiri. Jadi masih ada waktu untuk istirahat. Bahkan
saya pun sempat menikmati suasana kemeriahan malam di alun-alun kota
Madiun.
Akhirnya
sekitar pukul 10.00 WIB rangkaian gerbong meluncur, membawa
kami kembali ke Jakarta. Dan berharap di kemudian hari bisa
kembali menikmati desnitasi wisata lain di kota Madiun dan sekitanya.
Semoga!
Jadi tergiur untuk berkunjung ke sana.. Terima kasih, nuhun Kang buat tulisannya yang menginspirasi =)
ReplyDelete