Advertisement
Untuk menghilangkan kejenuhan akibat rutinitas kesibukan sehari-hari. Berapa waktu lalu kami sesama pencinta alam melakukan pendakian ke Gunung Gede. Tercatat 41 peserta dari Jabotabek ikut serta. Pilihan kami Gunung Gede, sebab gunung tersebut ketika itu tidak dalam status bahaya. Lokasinya tidak jauh dari ibukota. Tepatnya berada di antara tiga kota Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi.
Untuk
menjaga hal yang tidak diinginkan selama pendakian, kami mengikutkan ranger berpengalaman. Mengingat di antara peserta terdapat
beberapa pendaki pemula. Bahkan ada yang belum pernah sama sekali naik gunung.
Gunung
Gede berada di ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut (mdpl), luas lahan
21.975 hektar. Merupakan Taman Nasional, begitu
juga dengan kawasan hutan Gunung Halimun-Salak. sekaligus sebagai salah satu objek wisata. Suhu
rata-rata 18 °c. Apabila malam hari berkisar 10 °c. Sedangkan di puncak gunung
bisa mencapai 5 °c. Gunung Gede kaya ekosistem. Dipenuhi anekaragam
tumbuhan langka dan endemic. Juga dihuni oleh satwa langka dilindungi,
seperti Owa dan Elang Jawa.
Di sepanjang jalur pendakian banyak tempat menarik. Di antaranya Tenaga Biru, luasnya sekitar 5 hektar. Jaraknya dari pintu masuk Cibodas sekitar 1,5 km. Ada juga air terjun Cibeureum, yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter, jaraknya 2,8 km. Dan ada Air Panas, terletak sekitar 5,3 km atau dua jam perjalanan dari Cibodas.
Di sepanjang jalur pendakian banyak tempat menarik. Di antaranya Tenaga Biru, luasnya sekitar 5 hektar. Jaraknya dari pintu masuk Cibodas sekitar 1,5 km. Ada juga air terjun Cibeureum, yang mempunyai ketinggian sekitar 50 meter, jaraknya 2,8 km. Dan ada Air Panas, terletak sekitar 5,3 km atau dua jam perjalanan dari Cibodas.
Pukul 02.00 WIB dini hari rombongan tiba di Cibodas. Disambut pemandangan dua gunung berdiri angkuh berselimut kabut seolah menantang para pendaki. Hawa dingin mulai menusuk pori-pori kulit. Di sekeliling tampak warung-warung makan dan toko cendera mata.
Areal parkir sekitar seluas dua kali lapangan sepak bola itu sudah ramai oleh para pecinta alam. Beruntung teman kami kenal baik dengan salah satu pemilik warung. Sehingga kami pun bisa numpang tidur untuk istirahat melepas lelah dan ngantuk.
Tiba di jalur Air Panas kami menyempatkan istirahat. Jalur ini sangat sempit, berjalan harus hati-hati. Sebelah kanan jurang terjal. Pijakan kaki harus tepat di atas batu-batu yang timbul di permukaan aliran air. Tangan harus kuat memegang tambang kawat baja. Sebab dari arah bawah jurang tiupan angin sangat kencang berputar-putar, membawa kabut asap terkadang menutupi pandangan.
Sebelum ke puncak Gunung Gede, terlebih dahulu akan berkemah di Kandang Batu, tapi ternyata lokasi ini sudah ramai oleh para pendaki. Areal perkemahan itu sudah dipenuhi puluhan tenda.
Hampir tidak menyisakan tempat kosong untuk mendirikan tenda lagi. Padahal
kalau melihat jumlah rombongan dari kami minimal lima tenda harus dapat berdiri, tetapi tidak memungkinkan.
Akhirnya dengan sedikit kecewa kami melanjutkan pendakian. Matahari mulai tenggelam.
Langit pun mulai menghitam, pertanda hujan akan segera turun. Bersyukur
dekat kali kecil kami menemukan lokasi sempit. Lumayan dua tenda darurat
bisa berdiri untuk sekadar istirahat terutama untuk para wanita. Sedangkan satu
tenda untuk menyimpan barang dan sebagai dapur umum.
Belum lama tenda berdiri. Masak belum kelar. Tiba-tiba hujan turun disertai tiupan angin kencang. Sebagian berusaha memegang tenda agar tetap berdiri. Apa daya tiupan angin sangat kuat, tenda untuk menyimpan barang dan dapur umum akhirnya ambruk.
Kami pun sibuk menyelamatkan barang-barang dan makanan. Tubuh kami semua basah kuyup. Padahal sudah berusaha memakai jas hujan. Beruntung ada sedikit nasi, kami pun makan seadanya bergantian, sambil berdiri di atas genangan air.
Belum lama tenda berdiri. Masak belum kelar. Tiba-tiba hujan turun disertai tiupan angin kencang. Sebagian berusaha memegang tenda agar tetap berdiri. Apa daya tiupan angin sangat kuat, tenda untuk menyimpan barang dan dapur umum akhirnya ambruk.
Kami pun sibuk menyelamatkan barang-barang dan makanan. Tubuh kami semua basah kuyup. Padahal sudah berusaha memakai jas hujan. Beruntung ada sedikit nasi, kami pun makan seadanya bergantian, sambil berdiri di atas genangan air.
Hari semakin gelap. Hujan belum juga reda, kabut pun mulai muncul. Para
peserta merasakan lapar, lelah dan kedinginan membuat fisik kami menurun. Melihat
kondisi demikian. Lando (ranger, ketua rombongan) dan Qinoy Syarif Maulana (korlap)
mengumpulkan peserta. Mencari solusi terbaik. Serba dilematis antara
melanjutkan pendakian atau kembali pulang. Pilihan sama sulitnya. Perjalanan
kami sudah sangat jauh. Akhirnya kami sepakat meneruskan pendakian. Lando dan Qinoy pun mengingatkan para peserta untuk tetap menjaga kekompakan.
Mengingat medan pendakian akan semakin berat. Keadaan di atas gunung suhu udara malam akan semakin ekstrim. Disarankan kami mengenakan pakaian atau jaket rangkap. Tidak lupa kami wajib menggunakan alat penerang atau headlamp terpasang di kepala.
Selesai berdoa bersama kami melanjutkan perjalanan. Binatang malam mulai terdengar bersahutan disertai guyuran hujan. Pendakian semakin menanjak. Kaki semakin berat untuk digerakkan. Di jalanan sempit rombongan kami terlihat panjang mengular.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari atas. “Tahan!”. Salah seorang pendaki harus mendapat suplai oksigen. “Oksigen bawa ke sini,” teriaknya lagi.
Setelah cukup aman, perjalanan kembali dilanjutkan. Tetapi baru beberapa menit terdengar teriakan lagi dari bawah. “Tahan!" Rupanya teman kami di bawah ada yang terserang kram kaki. Serentak rombongan kami berhenti.
Di perjalanan malam itu kami sempat beberapa kali bertemu pendaki lain yang harus digendong turun.
Sekitar
pukul 23.00 WIB rombonan tiba di perkemahan Kandang Badak.
Ternyata tempat itu juga sudah dipenuhi tenda sampai ke lereng-lereng. Karena sulitnya mendapatkan lokasi untuk mendirikan tenda, terpaksa
sebagian peserta numpang tidur di emperan tenda warung penduduk.
Berbeda dengan teman saya, Agus dan Sanuddin. Dengan memakai jas hujan, terpaksa harus istirahat tiduran menyender di batang pohon tumbang. Begitu juga Reza Gaston, Anggit, dan Mumu. Nasibnya tidak lebih baik, harus tidur di jalan berbatu beralaskan keril. Sedangkan Adam, Ipin dan Ofik berhasil mendirikan tenda kecil di lereng dengan tanah yang bergelombang.
Berbeda dengan teman saya, Agus dan Sanuddin. Dengan memakai jas hujan, terpaksa harus istirahat tiduran menyender di batang pohon tumbang. Begitu juga Reza Gaston, Anggit, dan Mumu. Nasibnya tidak lebih baik, harus tidur di jalan berbatu beralaskan keril. Sedangkan Adam, Ipin dan Ofik berhasil mendirikan tenda kecil di lereng dengan tanah yang bergelombang.
Pagi
hari perjalanan dilanjutkan. Semakin ke atas jalur pendakian semakin terasa berat. Banyak rintangan batuan
serta akar yang melintang menghadang perjalanan rombongan kami.
Yang membuat semangat setelah mendekati puncak, pemandangan semakin menarik. Sambil bercanda ria kami saling memberi semangat. Tampak pohon-pohon tropis tumbuh subur. Daun-daunnya berwarna hijau kemerahan, lebat menebar teduh kepada para pendaki.
Yang membuat semangat setelah mendekati puncak, pemandangan semakin menarik. Sambil bercanda ria kami saling memberi semangat. Tampak pohon-pohon tropis tumbuh subur. Daun-daunnya berwarna hijau kemerahan, lebat menebar teduh kepada para pendaki.
Tiba
di jalur 'setan', begitu para pendaki menyebut. Para pendaki harus berjalan
berayap di atas tebing batuan curam. Kira-kira setinggi 40 meter dengan
kemiringan sekitar 70 derajat. Jalur ini dianggap angker. Tak heran sebagian
dari kami ada yang tidak berani melewati jalur ini. Dan terpaksa harus mencari
jalan lain agak memutar.
Di dekat jalur ini penulis dan teman lain sedikit kecewa melihat banyak sampah dan botol plastik berserakan di dasar jurang. Kemungkinan dibuang sembarangan oleh oknum pendaki yang tidak bertanggung jawab. Sangat disayangkan.
Di dekat jalur ini penulis dan teman lain sedikit kecewa melihat banyak sampah dan botol plastik berserakan di dasar jurang. Kemungkinan dibuang sembarangan oleh oknum pendaki yang tidak bertanggung jawab. Sangat disayangkan.
Pukul 14.00 WIB siang kami tiba di puncak dekat kawah. Hanya beberapa puluh meter lagi ke puncak Utama Gunung Gede. Kami tidak buru-buru ke puncak utama.
Terlihat lereng dinding batuan terjal kawah aktif--(terakhir meletus pada 1957)-- mengeluarkan asap putih dan bau belerang. Karena lokasinya bagus dan dirasa aman kami pun istirahat dan makan lesehan bersama di tempat tersebut.
Terlihat lereng dinding batuan terjal kawah aktif--(terakhir meletus pada 1957)-- mengeluarkan asap putih dan bau belerang. Karena lokasinya bagus dan dirasa aman kami pun istirahat dan makan lesehan bersama di tempat tersebut.
Jelang
sore rombongan berhasil menginjakkan kaki di puncak sejati Gunung Gede (puncak
utama). Penuh haru dan gembira. Kami saling berjabat tangan. Karena telah
berhasil mengalahkan rasa cape, lelah, lapar dan menahan hawa dingin.
Tidak lupa kami pun berfoto bersama mengabadian momen bahagia ini. Dari tempat ini pula kami dapat melihat keindahan ciptaan Ilahi. Pemandangan indah kawasan Gunung Gede-Pangrango. Dan keindahan lembah Suryakencana.
Siang akan berganti malam. Sang surya pun mulai tenggelam. Ketika itu cuaca di puncak Gunung Gede selalu berubah. Kadang puncak tertutup kabut. Kadangkala hawa panas dan dingin. Disertai tiupan angin dari lembah. Sebuah pengalaman berharga yang memacu adrenalin.
Setelah menikmati puncak Gunung Gede rombongan kami turun menuju lembah alun-alun Suryakencana. Lokasinya berada di antara lembah Gunung Gede dan Gunung Putri.
Tidak lupa kami pun berfoto bersama mengabadian momen bahagia ini. Dari tempat ini pula kami dapat melihat keindahan ciptaan Ilahi. Pemandangan indah kawasan Gunung Gede-Pangrango. Dan keindahan lembah Suryakencana.
Siang akan berganti malam. Sang surya pun mulai tenggelam. Ketika itu cuaca di puncak Gunung Gede selalu berubah. Kadang puncak tertutup kabut. Kadangkala hawa panas dan dingin. Disertai tiupan angin dari lembah. Sebuah pengalaman berharga yang memacu adrenalin.
Setelah menikmati puncak Gunung Gede rombongan kami turun menuju lembah alun-alun Suryakencana. Lokasinya berada di antara lembah Gunung Gede dan Gunung Putri.
Disambut
kemeriahan ribuan pendaki dan kelap kelip lampu tenda kami tiba di alun-alun Suryakencana.
Tetapi belum lama tiba di Suryakenca hujan turun kembali. Dengan sigap para
peserta bergotong royong mendirikan tenda di tengah guyuran hujan. Akhirnya
delapan tenda berdiri. Melihat kondisi cuaca buruk. Selain itu ada teman yang
sakit. Maka malam itu kami putuskan menginap di lembah Suryakencana.
Berada pada ketinggian 2.750 m. dpl dengan jarak 11,8 km dari Cibodas. Dataran seluas 50 hektar itu sebagian ditutupi hamparan pohon bunga edelweiss warna putih. Lembah alun-alun Suryakencana itu terlihat begitu indah.
Pagi-pagi kami dibangunkan teriakan pedagang nasi keliling. Rupanya ada penduduk di sekitar gunung mencoba mengais rezeki berjualan memanfaatkan ramainya kehadiran ribuan pendaki. Padahal jarak lembah Suryakencana dengan perkampungan sangat jauh.
Sebagian peserta sarapan pagi termasuk saya sendiri. Sayang satu bungkus wuduk seharga Rp10.000,- dan 1 bawan Rp2000,-, rasanya dingin sekali. Apa boleh buat perut terasa lapar. Sedikit demi sedikit perut pun bisa diisi makanan.
Tiba-tiba sekitar pukul 07.00 WIB, pagi dari seberang lembah terdengar nyanyian lagu
Indonesia Raya berkumandang. Rupanya sekelompok pemuda pecinta alam
sedang memperingati hari Kartini. Sambil membentangkan bendera
merah putih berukuran besar.
Tanpa dikomando, serentak seluruh penghuni tenda keluar meninggalkan aktivitasnya. Termasuk rombongan dari kami semua berdiri mengikuti lagu kebangsaan. Lagu Indonesia Raya pun bergema di lembah alun-alun Suryakencana. Terasa haru, sebuah rasa nasionalisme yang patut ditiru oleh semua penduduk negeri ini.
Tanpa dikomando, serentak seluruh penghuni tenda keluar meninggalkan aktivitasnya. Termasuk rombongan dari kami semua berdiri mengikuti lagu kebangsaan. Lagu Indonesia Raya pun bergema di lembah alun-alun Suryakencana. Terasa haru, sebuah rasa nasionalisme yang patut ditiru oleh semua penduduk negeri ini.
Sekitar
pukul 08.00 WIB rombongan kami pulang, meninggalkan
keindahan hamparan putih pohon Edelwis. Ternyata perjalanan
pulang sama beratnya. Turunan terjal bukit Gunung Putri di bawah guyuran
hujan harus kami lewati. Bahkan ada beberapa teman kami harus jatuh
bangun karena jalanan menurun dan licin, sehingga harus ekstra hati-hati.
Tiba
di pos jaga Gunung Putri kami melapor. Sekaligus menyetorkan
empat karung sampah bawaan. Ini komitmen kami turut menjaga kelestarian
lingkungan.
Sebuah perjalan panjang yang menguras tenaga, mulai dari jalur pendakian Cibodas sampai Gunung Putri. Kami bersyukur dan dengan senang hati kami pun bisa kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.
(silakan baca juga; Saksikan Pohon 'Berdarah' di Hutan Gunung Halimun)
Sebuah perjalan panjang yang menguras tenaga, mulai dari jalur pendakian Cibodas sampai Gunung Putri. Kami bersyukur dan dengan senang hati kami pun bisa kembali ke rumah masing-masing dengan selamat.
(silakan baca juga; Saksikan Pohon 'Berdarah' di Hutan Gunung Halimun)
Bagus kang foto2nya, posting juga kang yang ke Semerunya....
ReplyDeleteMasya Allah... Bagus Kang dan menginspirasi buat naik gunung... Siap2 diet dan olahraga dulu ini =)
ReplyDeletemantab kang imeng .. hehe
ReplyDeleteterima kasih sudah berkunjung ke mhenk.blogspot.com
ReplyDelete