Advertisement
Berbanggalah negeri Indonesia memiliki suku, adat dan budaya beragam. Mulai dari Aceh sampai tanah Papua, yang masing-masing daerah mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Adat dan budaya itu merupakan keunggulan sebagai aset berharga yang harus dilestarikan.
Misalnya Wae Rebo, adalah kampung adat tradisional
yang masih lestari. Berlokasi di pedalaman Manggarai, berada pada ketinggian 1.200 mdpl. Wae Rebo merupakan
bagian dari Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai Barat,
Flores.
Untuk menuju kampung
adat Wae Rebo yang letaknya terpencil -- berada di atas pegunungan Pocoroko --
perlu mempersiapkan fisik prima. Karena harus mendaki sejauh 7 km melewati
hutan dan pegunungan. Waktu tempuh diperkirakan 3 sampai 4 jam dengan jalan
kaki.
Keunikan kampung adat di
Wae Rebo adalah rumah tradisional atau disebut mbaru niang. Mempunyai gaya
arsitek tradisional berbentuk melingkar mengerucut ke atas -– berdiameter 14
meter (untuk rumah utama) -- yang
lainnya berdiameter 11 meter. Ditopang tiang utama yang disebut bangkok.
Mbaru niang ini terbuat
dari kayu worok dan bambu dengan atap ilalang yang dianyam. Tanpa menggunakan paku
hanya diikat menggunakan tali rotan. Uniknya mbaru niang yang menjulang setinggi
sekitar 15 meter, di Wae Rebo hanya ada tujuh buah tidak boleh lebih.
Mengapa mbaru niang ada
tujuh? Menurut kepercayaan setempat yang mengandung arti, nenek moyang mereka
menghormati 7 penjuru mata angin dari arah puncak gunung-gunung yang
mengelilingi kampung Wae Rebo. Dan dipercaya sebagai cara untuk menghormati
roh-roh yang memberikan kesejahteraan.
Ketujuh mbaru niang itu didirikan di tanah datar -- melingkar mengelilingi sebuah altar -- disebut Compang. Compang ini sangat sakral, yaitu sebagai titik pusat dari ketujuh mbaru niang. Berfungsi untuk memuji, menyembah Tuhan dan roh-roh nenek moyang.
Konon nenek moyang Wae
Rebo bernama Empo Maro, adalah orang
pertama yang tinggal di Wae Rebo berasal dari Minangkabau, Sumatra. Dan
kini generasi di Wae Rebo telah bertahan 19 generasi. Diperkirakan usia kampung
Wae Rebo saat ini ± 108 tahun. Berdasarkan data kependudukan tahun 2012,
kampung Wae Rebo dihuni 112 Kepala Keluarga atau sekitar 625 jiwa.
Satu mbaru niang bisa
dihuni oleh 6 sampai 8 keluarga. Jika ketujuh rumah tradisional itu sudah tidak
bisa menampung lagi, maka sebagian warga harus pindah ke kampung Kombo yang
jaraknya kira-kira 5 km dari Wae Rebo.
Masing-masing mbaru
niang mempunyai nama berbeda yaitu: Niang Gendang (rumah utama), Niang Gena
Mandok, Niang Gena Jekong (dibangun kembali pada tahun 2010), Niang Gena Ndorom
(dibangun kembali pada tahun 2009), Niang Gena Keto, Niang Gena Jintam, Niang
Gena Maro.
Di dalam bangunan mbaru
niang itu terdapat 5 ruang tingkat yang diberi nama: Tenda, Lobo, Lentar, Lempa
Rae, Hekang Code. Yang setiap tingkatnya mempunyai fungsi berbeda.
Ditingkat pertama Tenda;
berfungsi sebagai aktivitas keluarga terdiri dari ruang berkumpul, tempat
perapian, dan kamar tidur. Ditingkat Kedua Lobo; yaitu berfungsi sebagai tempat
menyimpan makanan dan barang lainnya. Tingkat ketiga Lentar; sebagai tempat
untuk menyimpan biji-bijian untuk berkebun. Tingkat keempat Lempa Rae; sebagai
tempat untuk menyimpan cadangan makanan. Sedangkan di tingkat kelima Hekang
Code; sebagai ruang persembahan untuk leluhur yang terbuat dari anyaman bambu.
Kegiatan kebanyakan
dipusatkan di tingkat pertama, atau Tenda dari rumah tersebut. Di lantai
pertama itu juga dibagi dalam 2 ruang, yaitu Nolang dan Lutur. Nolang adalah
bagian privat dari mbaru niang, terdapat kompor atau tempat untuk kayu bakar
yang digunakan untuk memasak, makan dan juga kamar tidur. Sedangkan Lutur
adalah zona publik yang digunakan untuk ruang aktivitas tamu dan masyarakat.
Sempat beberapa
dasawarsa hanya ada empat mbaru niang, karena sebagian ambruk lapuk termakan usia.
Tetapi arsitek Yori Antar bersama Yayasan Rumah Asuh, dengan bantuan dari
swasta dan pemerintah serta beberapa donatur.
Sehingga pada tahun 2011, Wae Reo kembali memiliki tujuh mbaru niang.
Kerja keras, berpegang
teguh tetap konsisten mempertahankan sejarah dan budaya asli warisan nenek
moyang. Sehingga Wae Rebo mendapat
apresiasi dari UNESCO. Organisasi dunia itu mengapresiasi Desa Waerebo dengan
sebuah penghargaan UNESCO Asia Pacific
Award for Cultural Heritage Conservation pada 27 Agustus 2012. Penghargaan
tersebut adalah penghargaan tertinggi yang diberikan kepada mereka yang
melakukan konservasi terhadap suatu warisan budaya.
Rute Menuju Wae Rebo
Bagi traveler yang
berminat berkunjung ke Wae Rebo, berikut informasi pilihan rute yang dihimpun
dari berbagai sumber:
Pengunjung yang ingin ke
Desa Wae Rebo harus mulai dari Ruteng. Jika dari Denpasar (Bali), bisa langsung
menuju Ruteng lewat jalur udara. Jika tidak ada penerbangan dapat menggunakan
bus atau travel dari Labuan Bajo menuju Ruteng, memakan waktu sekitar 6 jam.
Sesampainya di Ruteng,
dapat melanjutkan perjalanan menggunakan ojek ke Desa Denge atau Dintor. Waktu
tempuh sekitar 2 jam dengan tarif sekali jalan kira-kira Rp150.000,-.
Jika ingin hemat bisa
naik truk kayu Rp30.000,- per orang, biasanya berangkat sore hari. Truk kayu
ini dapat ditemukan di Terminal Mena yang beroperasi dari jam 09.00 sampai
10.00.
Desa Denge terletak di
pinggir pantai, adalah desa terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor. Dari
Denge traveler harus trekking ke We Rebo, melewati hutan dan pegunungan. Perjalanan ini dapat ditempuh
sekitar 2- 4 jam tergantung kondisi fisik.
Apabila ingin memilih
istirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Di Desa Denge terdapat home stay. Atau pengunjung bisa menginap
di Wae Rebo di rumah adat.
Bagi pengunjung yang
bertamu ke Wae Rebo sangat disankan berpakaian sopan, untuk menghormati budaya
dan adat dari kearifan lokal di Wae Rebo.
Tunggu apalagi, persiapkan
diri Anda dan segala keperluannya. Semoga tulisan ini dapat menginsfirasi dan
bermanfaat sebagai referensi untuk melakukan perjalanan.
Sumber:
kalamantana.com, dailyvoyagers.com, alambudaya.com, tanpakendali.com
0 komentar:
Post a Comment