Advertisement
Gemuruh ombak di pantai Kuta Sejuk, lembut angin di bukit Kintamani Gadis-gadis kecil menjajakan cincin Tak mampu mengusir kau yang manis....
Sebait puisi dalam
tembang “Nyanyian Rindu” yang disenandungkan oleh Ebit G. Ade itu menjadi
pengantar untuk mengingat kembali perjalanan ke dataran tinggi di Pulau Dewata.
Surganya keindahan dan seni yang telah mengalir dalam nadi setiap penduduknya.
Terlihat betapa setiap sudut pulau tersebut dihiasi benda seni disertai
menjamurnya workshop dan rumah seni
sepanjang jalan yang menjual dan memamerkan buah tangan.
Saya melakukan perjalanan ke Bali bukan untuk menyaksikan penobatan Miss Universe, meskipun pada waktu bersamaan memang tengah diselenggarakan penobatan ratu sejagat yang kontroversial itu. Saya melancong ke Pulau Dewata dalam rangka menghadiri resepsi pernikahan salah seorang rekan. Bersama beberapa rekan lainnya, saya pun mencoba menikmati keindahan dataran tinggi Kintamani sambil menanti hari saat resepsi pernikahan berlangsung.
Saya melakukan perjalanan ke Bali bukan untuk menyaksikan penobatan Miss Universe, meskipun pada waktu bersamaan memang tengah diselenggarakan penobatan ratu sejagat yang kontroversial itu. Saya melancong ke Pulau Dewata dalam rangka menghadiri resepsi pernikahan salah seorang rekan. Bersama beberapa rekan lainnya, saya pun mencoba menikmati keindahan dataran tinggi Kintamani sambil menanti hari saat resepsi pernikahan berlangsung.
Perjalanan menuju
Kintamani ditempuh dari Denpasar selama kurang lebih dua jam. Setelah sarapan
pagi dan melakukan persiapan seperlunya, kami berangkat dengan mobil travel
menuju kintamani. Jam 10 pagi, kami sampai di dataran tinggi tersebut.
Usai membayar harga
tiket masuk sebesar Rp 5 ribu, kami pun sampai di pelataran parkir yang
disambut deretan pedagang yang menjajakan cenderamata dan kaus khas Bali. Di
latar belakang, terhampar panorama Gunung Batur yang berdiri dengan angkuh
dihiasi indahnya Danau Batur yang menghijau.
Gunung dan Danau Batur
yang berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan laut dengan udara berhawa
sejuk pada siang hari sekalipun. Gunung ini termasuk gunung berapi yang masih
aktif. Menurut beberapa sumber, gunung ini bahkan merupakan puncak dari Gunung
Mahameru.
Alkisah, puncak Mahameru
dipindahkan oleh seorang tokoh sakti bernama Bathara Pasupati. Dia memindahkan
puncak gunung itu ke posisinya yang sekarang dengan tujuan untuk membangun
sebuah istana persembahan bagi Dewi Danu. Karena itu, masyarakat Bali yang
mayoritas beragama Hindu akan mendatangi tempat ini pada saat-saat tertentu untuk
menghormati keduanya, Bathara Pasupati dan Dewi Danu. Mereka berharap berkah
kesuburan dan kemakmuran dari keduanya.
Selain kesejukan dan
keindahan alam yang ditawarkan, jika punya waktu cukup dan suka petualangan
kecil, kita bisa menyempatkan diri menginap satu hari di Toya Bungkah. Selanjutnya,
mendaki puncak Gunung Batur untuk melihat matahari terbit.
Pilihan lain adalah
mengunjungi Desa Trunyan yang terkenal karena keberadaan mayat-mayat tak berbau
yang digeletakkan begitu saja di sekitar pohon trunyan. Bisa juga mengunjungi
Pura Ulun Danu Batur yang letaknya dekat Desa Batur. Pura Ulun Danu adalah pura
terpenting setelah Besakih. Termasuk salah satu pura Kahyangan Jagat, yaitu
pura-pura terpenting di Bali.
Hasrat hati ingin
berlama-lama menikmati kesejukan pagi di Kintamani, namun perut tak bisa
diajak kompromi, sehingga kami pun memutuskan segera turun. Dalam perjalanan,
pengemudi mengusulkan untuk singgah sejenak untuk menikmati secangkir kopi.
Akhirnya singgahlah kami di Wedang Sari yang unik.
Setelah menyibak
kerimbunan pohon kopi, sampailah kami di sebuah pondok untuk menikmati kopi.
Disambut keramahan khas gadis Bali, kami disuguhi tiga cangkir kopi. Dua
cangkir berisi kopi luwak dan sisanya kopi Bali. Penyajiannya terasa unik.
Pasalnya, selain tiga cangkir kopi yang dipesan, turut pula disajikan delapan
cangkir pelengkap untuk minum kopi, yaitu, coklat, jahe, lemon, rosela, kayu
manis, gingseng, dan lain-lain.
Tiga rekan saya –Yakub,
Yenny, dan Trias— menikmati betul tiga cangkir kopi dan suasana sejuk di
kerimbunan kebun kopi itu. Apalagi ternyata kami cukup membayar Rp 150 ribu
saja. Menikmati kopi dalam kerimbunan kebun kopi merupakan pengalaman tak
terlupakan.
Selepas minum kopi,
waktu terasa semakin siang dan kami harus segara menunaikan salat Jumat.
Ternyata, akibat keterbatasan dan persiapan yang kurang, kami agak sulit
mencari mesjid yang menyelenggarakan salat jumat. Ketika akhirnya tiba di
sebuah mesjid yang dikelola oleh Yayasan Ubudiyah di kawasan Ubud, waktu salat
Jumat telah usai.
“Tantangan” berikutnya
adalah mencari makan siang yang sesuai selera. Dari beberapa pilihan, akhirnya
memilih RM Bebek Tepi Sawah. Memasuki area parkir, saya agak binggung, di mana
sawahnya?
Namun, setelah masuk ke
dalam, ternyata benar adanya. Di hadapan saya, terhampar sawah dengan padi yang
menguning, siap untuk dipanen.
Tak berapa lama, kami
pun diantar menuju “saung” di tengah persawahan di area rumah makan. Menu
yang ditawarkan: bebek betutu, bebek crispy, dan bebek panggang. Beberapa
pelancong menyarankan untuk menikmati bebek betutu. Bumbunya begitu meresap dan
aroma bebeknya nyaris tidak terasa. Demikian juga dengan bebek crispy-nya,
terasa begitu renyah.
Menikmati lezatnya menu
bebek di tengah sawah begitu mengasyikkan. Haus dan lapar hilang sudah,
demikian juga penat selama perjalanan. Lenyap tersapu gemerisik daun padi yang
tertiup angin dan alunan gamelan Bali. Namun Anda perlu siap-siap merogoh saku
lumayan dalam karena harganya relatif tidak murah.
Setelah puas mengisi
perut, saya dan rekan-rekan memuaskan hasrat untuk berbelanja di Pasar
Sukowati. Pasar tradisional yang menjajakan hampir semua produk seni di tanah
Bali. Tip berbelanja di pasar ini sederhana saja: pandai-pandailah menawar.
Terkadang harga yang ditawarkan dua kali lipat dibanding harga yang kita bayar.
Oleh : Widodo
Pristwanto
0 komentar:
Post a Comment