Advertisement
Naskah
Bujangka Manik abad ke-16 menyebutkan suatu tempat " kabuyutan"
(tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) berada di hulu Cisokan, sungai
yang diketahui berhulu di sekitar tempat situs tersebut. Menurut legenda, Situs
Gunung Padang merupakan tempat pertemuan semua ketua adat dari masyarakat Sunda
Kuno.
Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD, "Buletin
Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914 juga melaporkan pertama kali tentang
keberadaan situs Gunung Padang. Kemudian, N.J Krom sejarawan Belanda
tahun 1949 sudah menyinggung situs punden berundak itu. Pada tahun 1979
tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik
Kebudayaan Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi
besar dengan berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak
mengarah Gunung Gede.
Situs yang berada
di ketinggian 885 mdpl, dengan luas areal sekitar 3 hektar,
menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar di Asia
Tenggara. Situs megalitikum ini secara geografis berada di Kampung
Gunungpadang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten
Cianjur Jawa Barat. Dari pusat kota berjarak kira-kira 45 km atau waktu tempuh
kurang lebih 1,5 jam.
Untuk mengobati rasa penasaran dari banyak cerita dan mitos
tentang Gunung Padang. Maka pada suatu kesempatan saya bersama Sanudd --teman
yang sama-sama hobi traveling dan naik gunung, memutuskan
mengunjungi Gunung Padang, Cianjur.
Sabtu pagi sekitar pukul 08.20 WIB kami berangkat menggunakan angkutan umum minibus jurusan Cianjur yang mangkal di seberang terminal Baranang Siang Bogor, dengan tarif Rp25.000,- per orang untuk sekali jalan.
Sabtu pagi sekitar pukul 08.20 WIB kami berangkat menggunakan angkutan umum minibus jurusan Cianjur yang mangkal di seberang terminal Baranang Siang Bogor, dengan tarif Rp25.000,- per orang untuk sekali jalan.
Estimasi waktu diperkirakan akan tiba lebih cepat di tempa tujuan, ternyata waktu banyak terbuang di tol Ciawi menuju
Puncak. Kendaraan yang kami tumpangi terjebak kemacetan panjang. Beruntung pengemudi tahu
jalan alternatif melewati jalan perkampungan penduduk, lumayan sedikit
menolong dari kemacetan.
Sekitar pukul 13.00 WIB kendaraan kami tiba di
perempatan Asten (Mall). Yaitu perempatan sebelum masuk ke kota Cianjur, dari arah Cipanas/Puncak. Kami pun turun. Kemudian naik
angkot no. 02 warna merah menuju Ranca Goong. Dilanjutkan naik
angkot no. 43 warna abu-abu jurusan Bebedahan tarif Rp7.000,-. Dari
Bebedahan ternyata ke Gunung Padang masih jauh kira-kira 15 km.
Untuk
menuju Gunung Padang bisa menempuh dua pilihan. Pertama jalur Pal Dua, yaitu
dengan menempuh jalan raya Cianjur-Sukabumi. Tepat di pertigaan Warungkondang,
ada tulisan petunjuk arah situs Gunung Padang 20 km. Lalu mengambil arah kiri
menuju arah Bebedahan-Lampegan-Pal Dua dan berakhir di Gunung Padang.
Jalur kedua, bisa menggunakan jalur Tegal Sereh, dari Sukaraja belok kiri menuju Cireungas-Rawabesar-Sukamukti-Cipanggulan dan berakhir di Gunung Padang.
Jalur kedua, bisa menggunakan jalur Tegal Sereh, dari Sukaraja belok kiri menuju Cireungas-Rawabesar-Sukamukti-Cipanggulan dan berakhir di Gunung Padang.
Menurut keterangan penduduk sekitar, angkutan menuju Gunung Padang
tidak ada yang langsung. Walaupun ada angkot hanya sampai Pal Dua atau
Lampegan. Sopir angkot rata-rata bersedia
mengantarkan secara borongan. Sedangkan jika menggunakan jasa ojeg dari
pangkalan Bebedahan berkisar Rp50.000,- per orang.
Sebenarnya
bisa juga naik menggunakan angkutan kereta api jurusan Bogor-Cianjur, juga
sebaliknya. Menurut sumber situs resmi PT KAI--jadwal perjalanan setiap
harinya hanya dua kali pemberangkatan, yaitu sekitar pukul 07.25 WIB,
dan pukul 13.55 WIB. Harga tiket Bogor-Cianjur Rp70.000,- , tiket harus dipesan
terlebih dahulu. Apabila meggunakan jasa kereta api ini, anda bisa turun di
stasiun Lampegan.
Hari semakin siang, kami memilih istirahat di warung baso sekadar
untuk mengganjal perut dari rasa lapar, sekaligus mencari tahu alternatif angkutan
ke Gunung Padang. Beruntung di warung itu kami kenal Maman, warga
asli kampung Bebedahan. Ia menawarkan diri mau mengantarkan kami ke Pal Dua,
katanya bayaran terserah. Tentu, kami menyambut gembira niat baiknya mengingat
waktu semakin siang jelang sore. Dan disepakati bersedia dibayar Rp75.000,-
berdua. Akhirnya kami pun bisa berangkat menggunakan sepeda motornya dibonceng
berdua.
Deru suara sepeda motor mengiringi perjalanan kami. Melewati perkampungan,
perbukitan dan jalanan yang berliku turun-naik. Walaupun kemarau
panjang suguhan hijau pemandangan kebun teh tetap memberikan kesegaran. Sungguh
merupakan anugerah yang luar biasa bagi negeri ini.
Ternyata Maman
tidak mengantar sampai Pal Dua. Ia berbaik hati mau langsung mengantarkan
ke lokasi Gunung Padang. Seandainya sampai di Pal Dua, kami masih menempuh
perjalan 3 km lagi.
Setengah jam perjalanan dari Bebedahan, kami tiba di lokasi. Areal
parkir tepat di kaki bukit Gunung Padang tersebut sudah dipenuhi kendaraan
bermotor roda dua. Sedangkan untuk parkir kendaraan roda empat lokasinya berada
di bawah kira-kira 200 meter dari bukit Gunung Padang. Jadi pengunjung masih
harus jalan kaki atau bisa naik ojeg.
Di sekitar areal parkir tampak berjejer warung makan dan kios
cenderamata.Tepat di pojok dekat tangga masuk terlihat ada sumber air yang
bening. Katanya air tersebut dipercaya mempunyai karomah. Dahulunya air
tersebut sering dipakai untuk acara ritual. Bahkan sampai sekarang pun masih
banyak pengunjung mengambil air tersebut untuk dibawa pulang.
Setelah membeli tiket masuk Rp3.000,- per orang. Satu demi satu sebanyak 468 anak tangga dari balok batu andesit yang direkonstruksi itu kami lewati. Tanjakan dengan kemiringan kira-kira 45 derajat lumayan melelahkan. Di sisi kiri dan kanan jalur trekking ini pengelola memasang pembatas jalur tangga terbuat dari batangan besi dicat hijau. Sekaligus sebagai pegangan sehingga memberi sedikit nyaman bagi para pengunjung untuk menaiki bukit. Jalur itu merupakan jalan utama yang asli untuk menuju puncak bukit Gunung Padang.
Sampai di bukit tampak pohon campaka berdiri
kokoh memberi teduh kepada seorang bapak yang sedang bersender di bawah pohon
itu. Berpakaian pangsi serba hitam. Di kepala mengenakan kain biru bermotif
batik sebagai ikat kepala khas Sunda. Di jari manis lengan kanannya terselip
batu cincin jenis pancawarna. Di depannya tergeletak kantong kaneron anyaman
khas Baduy. Dadi, begitu namanya sesuai tulisan yang tertera
dibajunya,menyambut ramah kepada kami yang baru sampai di bukit itu.
Tetapi kami lebih suka memanggilnya Bah Dadi. Bapak yang sudah
mengabdi puluhan tahun sebagai petugas Dinas Purbakala, adalah
salah satu petugas pemandu situs Gunung Padang. Ia menemani kami berkeliling
sambil menjelaskan fungsi setiap teras. Di mana di bukit itu terdapat 5
teras yang setiap teras ruang mempunyai fungsi berbeda, hanya ditandai jejeran
batu balok.
Kami pun diajak melihat nama-nama batu diantaranya: batu gamelan, batu gong, batu gendong, batu bersimbol senjata kujang dan batu yang mempunyai tanda tapak kaki
harimau.
Bahkan menurut Asep, tukang ojeg yang biasa mangkal di lokasi parkiran Gunung Padang. Dahulu ia pernah melihat batu balok yang panjangnya hampir tiga meter. Tetapi sekarang tidak ada lagi, mungkin menurutnya sudah diamankan untuk diteliti. Yang mengherankan rata-rata batu-batu balok itu selain panjang, juga mempunyai 5 sudut (pentagonal). Ada apa dengan sudut pentagonal?
Apakah sudut pentagonal tersebut mungkin ada hubungannya dengan keberadaan 5 gunung yang berjejer? Bisa ia, bisa tidak. Hanya Bah Dadi mempersilakan kami duduk di sebuah batu untuk menghadap ke utara. Dan ditunjukkan garis lurus ke arah dimana terdapat berjejer gunung. Mulai dari Gunung Padang, Pasir Domas, Gunung Kancana, Pasir Pogor, dan Gunung Gede/Pangrango. Ada apa dengan rahasia ini, bah Dadi pun belum tahu.
Bahkan menurut Asep, tukang ojeg yang biasa mangkal di lokasi parkiran Gunung Padang. Dahulu ia pernah melihat batu balok yang panjangnya hampir tiga meter. Tetapi sekarang tidak ada lagi, mungkin menurutnya sudah diamankan untuk diteliti. Yang mengherankan rata-rata batu-batu balok itu selain panjang, juga mempunyai 5 sudut (pentagonal). Ada apa dengan sudut pentagonal?
Apakah sudut pentagonal tersebut mungkin ada hubungannya dengan keberadaan 5 gunung yang berjejer? Bisa ia, bisa tidak. Hanya Bah Dadi mempersilakan kami duduk di sebuah batu untuk menghadap ke utara. Dan ditunjukkan garis lurus ke arah dimana terdapat berjejer gunung. Mulai dari Gunung Padang, Pasir Domas, Gunung Kancana, Pasir Pogor, dan Gunung Gede/Pangrango. Ada apa dengan rahasia ini, bah Dadi pun belum tahu.
Banyak rahasia yang belum terungkap dari Gunung Padang. Dan cerita
kearifan lokal yang sudah turun temurun turut memberi warna tersendiri. Seperti
dahulu kala pada suatu malam ada sebagian penduduk yang mendengar suara gamelan
dari puncak bukit, seperti yang diceritakan Bah Dadi.
Banyak artikel dan kajian literatur yang mengupas tentang situs megalitikum Gunung Padang, yang diperkirakan berumur 4.7000-10.000 SM, lebih tua dari piramid Mesir yang hanya 2.500 SM. Namun kebenarannya harus terus dibuktian dengan penelitian secara maksimal. Keberadaan situs Gunung Padang menjadi pembelajaran menarik untuk dikaji, dan diteliti. Suatu tantangan bagi para ahli untuk mengungkap lebih jauh kehidupan masa lalu para leluhur bangsa ini untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Entah sejak zaman kapan situs megalitikum itu dibangun dan siapa penguasanya? Ada yang menduga zaman Prabu Siliwangi atau sebelumnya. Masih belum jelas, butuh waktu dan kerja keras untuk mengungkapkannya. Tetapi dari hasil obrolan dan keterangan sepengetahuan bah Dadi sudah cukup mengobati rasa penasaran kami dari situs punden berundak tersebut. Seandainya tidak mendapat informasi, dan keterangan dari Bah Dadi kami datang hanya melihat batu-batu balok berserakan saja tanpa mengetahui latar belakangnya.
Banyak artikel dan kajian literatur yang mengupas tentang situs megalitikum Gunung Padang, yang diperkirakan berumur 4.7000-10.000 SM, lebih tua dari piramid Mesir yang hanya 2.500 SM. Namun kebenarannya harus terus dibuktian dengan penelitian secara maksimal. Keberadaan situs Gunung Padang menjadi pembelajaran menarik untuk dikaji, dan diteliti. Suatu tantangan bagi para ahli untuk mengungkap lebih jauh kehidupan masa lalu para leluhur bangsa ini untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Entah sejak zaman kapan situs megalitikum itu dibangun dan siapa penguasanya? Ada yang menduga zaman Prabu Siliwangi atau sebelumnya. Masih belum jelas, butuh waktu dan kerja keras untuk mengungkapkannya. Tetapi dari hasil obrolan dan keterangan sepengetahuan bah Dadi sudah cukup mengobati rasa penasaran kami dari situs punden berundak tersebut. Seandainya tidak mendapat informasi, dan keterangan dari Bah Dadi kami datang hanya melihat batu-batu balok berserakan saja tanpa mengetahui latar belakangnya.
Tidak terasa matahari sudah miring ke barat. Hari semakin sore, sudah merasa cukup ngobrol bersama Bah Dadi. Sekitar pukul 15.00WIB kami memutuskan pulang menggunakan jasa ojeg diantar sampai
pangkalan angkot Bebedahan.
Setelah sampai di pangkalan ternyata angkot tidak tersedia. Hari semakin sore, akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki, menjadi backpaker menyusuri jalan beraspal yang sudah mulai rusak. Bahkan kami harus naik turun angkot diselingi jalan kaki sampai tiga kali. Karena angkutan sudah tidak ada yang narik langsung ke Cianjur.
Setelah sampai di pangkalan ternyata angkot tidak tersedia. Hari semakin sore, akhirnya kami memutuskan untuk jalan kaki, menjadi backpaker menyusuri jalan beraspal yang sudah mulai rusak. Bahkan kami harus naik turun angkot diselingi jalan kaki sampai tiga kali. Karena angkutan sudah tidak ada yang narik langsung ke Cianjur.
Ketika sedang jalan kaki kami disuguhi pemandangan menarik. Yaitu melihat kemeriahan anekaragam hiasan di setiap rumah penduduk. Bahkan unik, ada warga yang membuat pocong-pocongan bergelantungan di pohon. Jika malam tiba wow pasti menyeramkan! Semangat dan kreativitas penduduk setempat dalam menyambut kemerdekaan Republik Indonesia patut diacungi jempol.
Kira-kira
pukul 19.00 WIB malam kami tiba di perempatan Asten, tempat mangkal angkutan. Dari
perempatan itu kami naik angkutan minibus jurusan Bogor. Sekitar satu
jam menunggu, minibus itu pun berangkat. Dan setelah sabar 'menikmati'
kemacetan di jalur puncak, akhirnya sekitar pukul 22.15 WIB kami
berdua tiba di Bogor.
0 komentar:
Post a Comment